Sabtu, 11 Februari 2017

Dejan Lovren, Kisah Sang Pencari Suaka Cerita

Perang adalah kesedihan. Bagi pihak yang menang maupun pihak yang kalah, peperangan hanya akan menyisakan duka yang cukup mendalam dan sulit untuk dilupakan seumur hidup. Inilah yang dialami oleh Dejan Lovren. Lovren, yang sekarang membela Liverpool dan sudah sejak 2013 silam merasakan atmosfer Liga Primer, memiliki sebuah pengalaman pahit. Dilahirkan ketika situasi di Yugoslavia sedang berkecamuk, membuatnya mengalami sebuah hal yang mungkin tidak ia kira seumur hidupnya, yaitu panasnya situasi peperangan. Situasi inilah, yang secara tidak langsung, mengubah hidupnya. Dalam sebuah video dokumenter di LFC TV GO, ia pun berbagi seputar kisahnya yang ketika kecil, sempat mengalami situasi perang saudara Yugoslavia (kerap juga disebut perang Balkan), yang memaksanya menjadi seorang pencari suaka. Saat Perang Berkecamuk, Lovren Ada di Sana Perang saudara Yugoslavia, atau biasa disebut perang Balkan, adalah sebuah serial perang yang terjadi sejak 1991 sampai 2001. Serial perang ini, selain menjadi faktor utama berpisahnya negara besar bernama Yugoslavia, juga menjadi pemicu konflik-konflik etnis yang terjadi di tanah Yugoslavia yang kelak terpisah menjadi beberapa negara. Ketika proses pemisahan itu terjadi, Lovren, yang masih berusia tiga tahun, mengalami semua itu. Ia bertutur bahwa ia melihat semua konflik tersebut, dan konflik itu mengubah tempat tinggalnya, sebuah kota kecil bernama Kraljeva Sutjeska, menjadi kota yang menakutkan. "Saya tinggal dan dilahirkan di sebuah kota bernama Kraljeva Sutjeska (sebuah kota yang sekarang menjadi bagian dari negara Bosnia-Herzegovina). Sebuah kota kecil yang indah, damai, dan ibu saya sering mengatakan kalau kota tersebut adalah kota yang cocok untuk ditinggali. Di sana dulu keluarga saya tinggal, dan memiliki sebuah toko kecil untuk menghidupi keluarga," ujar Lovren membuka ceritanya. "Tak ada masalah besar yang terjadi saat itu, dan semua terasa indah bagi keluarga kami. Begitu pun dengan kehidupan di sekitar kami. Walau kami tinggal bersama orang Muslim, orang Serbia, kami tetap mampu bergaul satu sama lain. Namun, tiba-tiba semua berubah." "Semua seperti berubaSituasi di Yugoslavia, tepatnya Bosnia saat itu, terasa mencekam. Setiap kali malam tiba, selalu ada sirene yang membuat orang-orang ketakutan, memaksa diri mereka untuk mengamankan diri. Itulah yang juga dialami oleh keluarga Lovren. Setiap kali sirene tiba, keluarganya pun kerap memilih untuk menghabiskan malam di basement, mendengarkan suara senapan menderu-deru, di tengah kota kecil mereka yang damai dan jauh dari hingar-bingar keramaian kota. Karena keadaan yang berubah menjadi mencekam, Lovren pun bercerita bahwa akhirnya ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Jerman, ke rumah kakeknya, mencari kehidupan sekaligus menyelamatkan diri dari keadaan yang semakin tidak menentu di Yugoslavia, yang sedang berjalan menuju kehancuran. "Akhirnya saya dan keluarga saya pun memutuskan untuk mengungsi ke Jerman, ke rumah kakek saya. Itu pun sangat sulit untuk dilakukan, karena ketika kami akan menyeberang ke luar perbatasan, kami dilempari beberapa pertanyaan. Beruntung, akhirnya kami tetap bisa keluar dan pindah ke Jerman," ungkap Lovren. Kehidupan di Jerman, dan Upaya Untuk Tinggal di Sana Lebih Lama Sejak berusia tiga tahun, Lovren sudah memulai kehidupannya sebagai seorang pencari suaka, bersama dengan keluarganya di Jerman, tepatnya di kota München. Tinggal di rumah kakeknya, ia mengenang bagaimana rupa dari rumah kakeknya tersebut. Sebuah rumah kayu yang nyaman, dan membuatnya sempat betah untuk tinggal di sana, walau di sana ia juga tak lepas dari kekangan kesedihan yang acap ia lihat dari tangis ibunya. "Mengingat rumah kakek, saya ingat tentang sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Rumah yang nyaman dan membuat saya betah tinggal di sana. Tapi entah kenapa meski saya dan keluarga sudah pindah ke Jerman, saya masih sering melihat ibu saya menangis. Saya sempat kesal ketika itu, dan mengatakan bahwa "Ayolah ibu, kita sudah aman di sini"," kenangnya. "Sampai akhirnya saya dengar alasan ibu saya menangis, bahwa ia harus meninggalkan semua kenangannya di sana (Bosnia), ia merasa sedih. Ditambah lagi membayangkan banyaknya kematian yang terjadi di sana, akhirnya saya mengerti alasan dari kesedihan ibu saya," ungkapnya. Lovren memang bisa disebut beruntung. Ketika teman-teman masa kecilnya harus tumbuh di tengah keadaan seperti itu, ia bisa menyelamatkan diri dan pergi ke Jerman, tumbuh di tempat yang aman. Ia bahkan harus mengingat seorang temannya yang menjadi tentara, menangis karena ditinggal pergi oleh ayahnya. Mereka beruntung bisa menyelamatkan diri ke Jerman. Keramahan Jerman, negara yang menjadi tempat pertamanya mengenal sepakbola, membuat keluarganya berusaha untuk mendapatkan izin untuk tinggal lebih lama di Jerman. Lovren bahkan sudah menganggap Jerman sebagai rumah keduanya, karena di sanalah ia tumbuh, dan ia pun mengaku bisa berbahasa Jerman. Sayangnya, izin tinggal lebih lama tidak bisa didapat, dan Lovren pun pada akhirnya tetap kembali ke tanah Yugoslavia. "Saya selalu menganggap Jerman adalah rumah kedua saya. Di sini saya tumbuh, sekaligus mengenal sepakbola. Orang tua saya bahkan sudah meminta izin untuk tinggal lebih lama di sini kepada pemerintah Jerman, karena kami merasa sudah nyaman di sini," ungkap Lovren. "Tapi pemerintah Jerman menolak. Mereka hanya menampung para pencari suaka seperti kami sampai situasi di Yugoslavia benar-benar kondusif. Jika situasi sudah kondusif, maka kami akan dipulangkan kembali ke sana. Situasi yang sulit, dan akhirnya kami memutuskan untuk tidak kembali ke rumah kami. Kami pindah ke Karlovac (sebuah kota di Kroasia) karena di sana katanya situasinya lebih aman," ujarnya. Memulai Kehidupan di Karlovac, Sampai Akhirnya Menjadi Pesepakbola Seperti Sekarang Pindah ke Karlovac, kenang Lovren, adalah sesuatu yang cukup sulit dalam hidupnya. Teman-teman serta kenyamanan yang sudah ia dapat di Jerman, akhirnya harus ia lepaskan. Ia pun seolah dipaksa untuk beradaptasi dengan budaya Kroasia, budaya yang belum ia kenal karena sedari kecil ia sudah terbiasa dengan budaya Jerman dalam dirinya. "Pindah dari Jerman ke Kroasia adalah hal yang sulit bagi saya. Saat saya sudah terbiasa dengan segala hal berbau Jerman, saya kembali dipaksa untuk mengenal budaya baru, budaya Kroasia. Saya bahkan tidak mengerti bagaimana caranya menulis dan berbicara dengan aksen Kroasia, dan orang-orang menganggap saya berbeda," kenang Lovren. "Orang-orang bahkan kerap menertawakan saya, dan saya sering bertengkar dengan teman-teman di sekolah saya. Itu semua karena saya berbeda," ungkapnya. Namun perlakuan orang-orang mulai berubah kepadanya ketika orang-orang melihat ia bermain sepakbola. Dengan sepakbola, ia bergaul dengan teman-temannya. Ia selalu ikut rombongan orang-orang yang sepulang sekolah, pergi ke lapangan di belakang sekolah, lalu bermain bola. Baginya, itu adalah cara bergaul yang paling baik. Caranya menunjukkan dirinya. Sepakbola juga yang membuatnya tetap bisa melupakan segala masalah yang terjadi di keluarganya. Masalah ekonomi yang kerap mendera keluarganya ketika keadaan ekonomi keluarga tidak mendukung. "Sepakbola adalah cara saya mengekspresikan diri saya. Saya pun mulai dikenal orang-orang karena kemampuan sepakbola saya. Sepakbola juga menjadi salah satu cara saya untuk melepaskan diri dari situasi keluarga saya yang serba sulit ketika itu. Bermain bola adalah impian saya," ujar Lovren. "Dan ternyata, sekarang saya menjadi pesepakbola yang bisa mendukung keadaan keluarga saya, dan saya bisa membantu keluarga saya lewat olahraga yang begitu saya gemari dan saya impikan," ucapnya. *** Sekarang keadaan sudah lebih baik, entah itu bagi Lovren maupun keluarganya. Lovren pun berharap, bahwa semua orang yang terlibat dalam kejadian yang terjadi di Yugoslavia pada masa-masa perang Balkan, bisa melupakan kejadian tersebut dan menganggap kejadian itu adalah sejarah yang tak boleh dibicarakan secara asal, tapi juga tidak boleh dilupakan begitu saja. "Saya berharap bahwa kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Generasi-generasi yang tumbuh pada masa tersebut, saya harap bisa berkompromi dengan kejadian itu, dan tetap maju ke depan dengan tanpa melupakan sejarah kelam yang terjadi. Itu adalah bagian dari hidup, tak akan hilang, dan akan membekas selamanya dalam ingatan." "Semoga cerita saya ini bisa menjadi inspirasi, bahwa setelah semua kesulitan, akan ada hal-hal indah yang menarik yang akan terjadi di masa depan. Percayalah," Sekian kisah dari Lovren, sang pencari suaka.h dalam satu malam. Tiba-tiba semua saling berperang satu sama lain. Perang yang melibatkan tiga suku besar (etnis Croat, Serb, dan Albania). Sejak saat itu semua berubah, dan cerita-cerita yang tersebar membuat orang-orang menjadi saling tidak percaya satu sama lain. Mereka yang awalnya hidup saling berdampingan sekarang jadi menjauhi jalanan," ujar Lovren. Sumber:http://panditfootball.com/cerita/207737/dejan-lovren-kisah-sang-pencari-suaka/2